Teks
Drama
TUMBANG
(Beberapa saat lamanya
panggung sepi saja. Suasana lebih gelap. Kemudian masuk seorang perempuan tua
renta, rambutnya putih. Pakaiannya bagus, dan dipergunakannya tongkat untuk
berjalan. Tampak jarinya banyak bercincin. Air mukanya sedih sewaktu ia
berjalan pelan-pelan ke arah orang yang tidur itu. Sampai ke itu, ia berhenti,
sebentar mengamat-amati air muka orang di baleh-baleh itu dengan iba hati, lalu
menggeleng-gelengkan kepala).
Orang Tua : “Ia tidur…..Tidurlah nyenyak! Kau yang banyak menderita kau
yang banyak musuh. Kau yang keras hati, anakku, mengasolah. Tubuhmu lelah,
jiwamu sedih. Sebab keras kepalamu (menggelengkan kepala) ah ….begitu keras
hatinya! Mengasolah, damai, damailah, Nak!” (mengusap air matanya).
Lelaki :
(bercakap dalam tidurnya) “Ibu…. Ibu!”
Orang Tua : “Tidurlah dulu, enakkan badanmu, kau lelah”.
Lelaki :
“Bu!... ah, Ibu!”
Orang Tua : “Mengasolah, nak. Ibu pergi dulu”.
Lelaki :
(membuka matanya, duduk tegak, terkejut) “Ibu!”
Orang Tua : “Diamlah, dan tidurlah, Nak!”
Lelaki :
(Menyingkapkan selimutnya, turun dari tempat tidurnya, berlutut ke lantai,
memegang tangan ibunya serta menciumnya). “Ibu…. Di sini! Dari mana ibu
datang?”
Orang Tua : “ Kau tak tahu dari mana aku, berapa lamanya kita tidak
bertemu?….. kau ingat?
Lelaki :
“Delapan tahun, Bu”.
Orang Tua : “ Ya, syukur kau masih ingat pada Ibumu. Nah, tempat
tinggalku jauh dari sini, tidak di bumi, tidak di mana orang hidup biasa. Aku
datang dari tempat Tuhan anakku, tempat keramat”.
Lelaki :
“Duh, ibu. Maafkan daku!” (menengadah memandang orang tua itu dengan mata
berlinang-linang)
Orang Tua : “Ya, kau tak tahu bahwa aku susah tak ada di dunia ini. Dari
itu aku datang untuk mengatakan ini padamu. Kau anak tunggalku. Tak ada orang
lain yang lebih kusayangi dari padamu”.
Lelaki :
(Memegang dadanya, lalu menundukkan kepalanya). “Duh! Aku telah pendurhaka
besar terhadap ibu”.
Orang Tua : “Ayahmu meninggal sebelum aku, Nak”.
Lelaki :
“Ayah!”
Orang Tua : “Ya! Dan belum kau berdamai dengan dia. Kau dan ayahmu
selalu bertengkar, kedua-duanya sama-sama keras hati. Sama keras kepala.
Kata-katanya yang penghabisan untukmu, Nak. Ia menanyakan kau. Dan kecewa ia
bahwa kau tak ada pada saatnya yang
terakhir di bumi. Mengapa, mengapa kau tak mau datang, waktu kami kabarkan
bahwa ayahmu sakit keras?”
Lelaki :
(tersedu) “Maaf, maaf,Bu!”
Orang Tua : “ Terlambat sesalanmu itu. Tidak bisa diperbaiki lagi dari dunia ini” (sejurus bening. Terdengar sedu-sedan
lelaki).
“Ya, ayahmu mau memaafkan aku, tapi kau tidak ada.
Sesuatu yang hendak diucapkan atas dirimu itu terhembus lenyap oleh napasnya
yang penghabisan! Sekarang kau menyesal. Tapi apa gunanya? Ia tak akan
mendengarkan, ia tidak akan menjawab sehingga jawabannya terdengar olehmu.
Terlambat, terlambat, Nak! Ah, orang muda sering terburu perbuatannya dan
lambat penyesalannya. Mengapa kau dulu tak mau menundukkan kepalamu yang keras
itu? Mengapa perkataan ibumu selalu kau abaikan?”
Lelaki :
“Bawalah aku, Bu, bersama Ibu (bernafsu). Ah, aku tak betah di bumi ini!
(memegang tangan perempuan itu). Boleh aku ikut, Bu?”
Orang Tua : “Bukan akulah yang dapat memastikan itu. Yang Mahakuasa
jugalah yang memutuskannya, jika waktumu sudah tiba”.
Lelaki :
“ Tapi…ah, tak ada yang mengikat aku lagi di sini. Ayah dan ibu tidak. Istri
pun telah meninggalkan daku. Ibu, ibu, kasihanilah anakmu!”
Orang Tua : “Istrimu sudah kau cerai, bukan? Aku tahu, Kuawasi kau dari
jauh. Tapi meskipun jauh jaraknya, kulihat segala perbuatanmu dengan tegas”.
Lelaki :
“ O, kuingat Ibu selalu! Memang kurasa ibu selalu di dekatku. Tidak jauh jarak
kita, Bu. Aku merasa, itu sampai ke dasar sanubariku. Aku dekat tempat tinggal
Ibu, sudah kucium baunya yang harum. dan kadang kurasa udara damai mengembus
dari situ. Bukankah tempat ibu damai dan harum raksi?”
Orang Tua : “ Betul. Tapi tunggulah saatnya. Kehendak Allah Ta’ala tak
dapat diubah oleh manusia”.
Lelaki :
“ Dapatkah aku bertemu Ibu kelak ?”
Orang Tua : “ Itu pun belum tentu. Putusan tidak pada kita.”
Lelaki :
“ O, Ibu bukan mengatakan bahwa aku mungkin di tempat lainnya? Di tempat yang
ngeri penuh api dan gelap, di mana orang-orang durhaka mendapat hukuman-hukuman
yang dahsyat? Tidak begitu, o, tidak, tidak! O Ibu, katakana aku tak akan tiba
di sana, bukan? Aku tak akan disiksa di sana? Siksaanku telah cukup di sini,
Bu?”
Orang Tua : “Itu bergantung padamu sendiri, anakku. Pada amal perbuatan
mu sendiri, Dia yang melindungi kita semua itu adil dan bijaksana. Percayalah kepada-Nya.
Tawakallah, Nak. Sekarang ibumu pergi, Nak. Jauh perjalanan ibu. Terimalah doa
restuku.” (Meletakkan tangannya atas kepala si laki-laki).
Lelaki :
(terkejut) “O, tunggu, tunggu dulu! (Dipegangnya tangan dan tongkat orag tua
itu dengan teropong) Ah, ibu! ibu!” (Panggung gelap).
(setelah
lampu dinyalakan lagi, tampak lelaki masih bersikap seperti tadi, yakni
berlutut dan kedua belah tangannya seolah-olah memegang sesuatu, tapi perempuan
tua itu sudah tidak ada lagi. Secepat
kilat tubuhnya seakan tergugat oleh
tenaga listrik, lalu diraihnyalah tangannya ke dada dan berdiri dengan
perlahan. Kepala menunduk)
Lelaki :
“Oh…. Ibu!... Duh! Dan belum kutanya dimana adanya ayah disana, Didalam baka. Dimana
beliau ku temui nanti jika aku mati ? Mestikah aku mencari ayah sampai waktu
tak berujung, Sampai abadi mencari dengan beban sesalan hati yang berat? O,
bagiku! Ragaku akan dimakan api. Jiwaku melarat-larat di tempat hangus dan keji
sepanjang masa. Seperti awan tak ada tempat berhentinya. Aku akan jadi hantu! Jadi
hantu buruk. Ngeri, dan semua orang
akan takut melihat aku, O, semua makhluk mengutuk aku! O, hantu!”
(Merebahkan
diri di balai-balai, menelungkup, muka dipadamnya didalam bantal, kaki masih
dilantai. Bahunya tersentak-sentak karena sedu-sendanya). (Sementara itu masuk
kedalam bilik seorang perempuan muda, yang wajahnya serupa dengan gambar
perempuan di dinding, yaitu agak layu, tapi masih kantara sisa-sisa
kecantikannya yang dulu. Pakaiannya bagus juga, merah jambu dengan warna yang
mencolok mata. Ia memakai selandang yang merah serta menjinjing tas yang biasa
dipakai oleh perempuan. Dihampirinya lelaki yang masih menelungkup dan tidak
melihatnya itu, lalu meletakkan tangan diatas pundak).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar