kelender Islam

Senin, 08 April 2013


Teks Drama
TUMBANG

(Beberapa saat lamanya panggung sepi saja. Suasana lebih gelap. Kemudian masuk seorang perempuan tua renta, rambutnya putih. Pakaiannya bagus, dan dipergunakannya tongkat untuk berjalan. Tampak jarinya banyak bercincin. Air mukanya sedih sewaktu ia berjalan pelan-pelan ke arah orang yang tidur itu. Sampai ke itu, ia berhenti, sebentar mengamat-amati air muka orang di baleh-baleh itu dengan iba hati, lalu menggeleng-gelengkan kepala).

Orang Tua       : “Ia tidur…..Tidurlah nyenyak! Kau yang banyak menderita kau yang banyak musuh. Kau yang keras hati, anakku, mengasolah. Tubuhmu lelah, jiwamu sedih. Sebab keras kepalamu (menggelengkan kepala) ah ….begitu keras hatinya! Mengasolah, damai, damailah, Nak!” (mengusap air matanya).
Lelaki              : (bercakap dalam tidurnya) “Ibu….  Ibu!”
Orang Tua       : “Tidurlah dulu, enakkan badanmu, kau lelah”.
Lelaki              : “Bu!... ah, Ibu!”
Orang Tua       : “Mengasolah, nak. Ibu pergi dulu”.
Lelaki              : (membuka matanya, duduk tegak, terkejut) “Ibu!”
Orang Tua       : “Diamlah, dan tidurlah, Nak!”
Lelaki              : (Menyingkapkan selimutnya, turun dari tempat tidurnya, berlutut ke lantai, memegang tangan ibunya serta menciumnya). “Ibu…. Di sini! Dari mana ibu datang?”
Orang Tua       : “ Kau tak tahu dari mana aku, berapa lamanya kita tidak bertemu?….. kau ingat?
Lelaki              : “Delapan tahun, Bu”.
Orang Tua       : “ Ya, syukur kau masih ingat pada Ibumu. Nah, tempat tinggalku jauh dari sini, tidak di bumi, tidak di mana orang hidup biasa. Aku datang dari tempat Tuhan anakku, tempat keramat”.
Lelaki              : “Duh, ibu. Maafkan daku!” (menengadah memandang orang tua itu dengan mata berlinang-linang)
Orang Tua       : “Ya, kau tak tahu bahwa aku susah tak ada di dunia ini. Dari itu aku datang untuk mengatakan ini padamu. Kau anak tunggalku. Tak ada orang lain yang lebih kusayangi dari padamu”.
Lelaki              : (Memegang dadanya, lalu menundukkan kepalanya). “Duh! Aku telah pendurhaka besar terhadap ibu”.
Orang Tua       : “Ayahmu meninggal sebelum aku, Nak”.
Lelaki              : “Ayah!”
Orang Tua       : “Ya! Dan belum kau berdamai dengan dia. Kau dan ayahmu selalu bertengkar, kedua-duanya sama-sama keras hati. Sama keras kepala. Kata-katanya yang penghabisan untukmu, Nak. Ia menanyakan kau. Dan kecewa ia bahwa kau  tak ada pada saatnya yang terakhir di bumi. Mengapa, mengapa kau tak mau datang, waktu kami kabarkan bahwa ayahmu sakit keras?”
Lelaki              : (tersedu) “Maaf, maaf,Bu!”
Orang Tua       : “ Terlambat sesalanmu itu. Tidak bisa diperbaiki lagi  dari dunia ini” (sejurus bening. Terdengar sedu-sedan lelaki).
                         “Ya, ayahmu mau memaafkan aku, tapi kau tidak ada. Sesuatu yang hendak diucapkan atas dirimu itu terhembus lenyap oleh napasnya yang penghabisan! Sekarang kau menyesal. Tapi apa gunanya? Ia tak akan mendengarkan, ia tidak akan menjawab sehingga jawabannya terdengar olehmu. Terlambat, terlambat, Nak! Ah, orang muda sering terburu perbuatannya dan lambat penyesalannya. Mengapa kau dulu tak mau menundukkan kepalamu yang keras itu? Mengapa perkataan ibumu selalu kau abaikan?”
Lelaki              : “Bawalah aku, Bu, bersama Ibu (bernafsu). Ah, aku tak betah di bumi ini! (memegang tangan perempuan itu). Boleh aku ikut, Bu?”
Orang Tua       : “Bukan akulah yang dapat memastikan itu. Yang Mahakuasa jugalah yang memutuskannya, jika waktumu sudah tiba”.
Lelaki              : “ Tapi…ah, tak ada yang mengikat aku lagi di sini. Ayah dan ibu tidak. Istri pun telah meninggalkan daku. Ibu, ibu, kasihanilah anakmu!”
Orang Tua       : “Istrimu sudah kau cerai, bukan? Aku tahu, Kuawasi kau dari jauh. Tapi meskipun jauh jaraknya, kulihat segala perbuatanmu dengan tegas”.
Lelaki              : “ O, kuingat Ibu selalu! Memang kurasa ibu selalu di dekatku. Tidak jauh jarak kita, Bu. Aku merasa, itu sampai ke dasar sanubariku. Aku dekat tempat tinggal Ibu, sudah kucium baunya yang harum. dan kadang kurasa udara damai mengembus dari situ. Bukankah tempat ibu damai dan harum raksi?”
Orang Tua       : “ Betul. Tapi tunggulah saatnya. Kehendak Allah Ta’ala tak dapat diubah oleh manusia”.
Lelaki              : “ Dapatkah aku bertemu Ibu kelak ?”
Orang Tua       : “ Itu pun belum tentu. Putusan tidak pada kita.”
Lelaki              : “ O, Ibu bukan mengatakan bahwa aku mungkin di tempat lainnya? Di tempat yang ngeri penuh api dan gelap, di mana orang-orang durhaka mendapat hukuman-hukuman yang dahsyat? Tidak begitu, o, tidak, tidak! O Ibu, katakana aku tak akan tiba di sana, bukan? Aku tak akan disiksa di sana? Siksaanku telah cukup di sini, Bu?”
Orang Tua       : “Itu bergantung padamu sendiri, anakku. Pada amal perbuatan mu sendiri, Dia yang melindungi kita semua itu adil dan bijaksana. Percayalah kepada-Nya. Tawakallah, Nak. Sekarang ibumu pergi, Nak. Jauh perjalanan ibu. Terimalah doa restuku.” (Meletakkan tangannya atas kepala si laki-laki).
Lelaki              : (terkejut) “O, tunggu, tunggu dulu! (Dipegangnya tangan dan tongkat orag tua itu dengan teropong) Ah, ibu! ibu!” (Panggung gelap).

(setelah lampu dinyalakan lagi, tampak lelaki masih bersikap seperti tadi, yakni berlutut dan kedua belah tangannya seolah-olah memegang sesuatu, tapi perempuan tua itu  sudah tidak ada lagi. Secepat kilat tubuhnya seakan  tergugat oleh tenaga listrik, lalu diraihnyalah tangannya ke dada dan berdiri dengan perlahan. Kepala menunduk)

Lelaki              : “Oh…. Ibu!... Duh! Dan belum kutanya dimana adanya ayah disana, Didalam baka. Dimana beliau ku temui nanti jika aku mati ? Mestikah aku mencari ayah sampai waktu tak berujung, Sampai abadi mencari dengan beban sesalan hati yang berat? O, bagiku! Ragaku akan dimakan api. Jiwaku melarat-larat di tempat hangus dan keji sepanjang masa. Seperti awan tak ada tempat berhentinya. Aku akan jadi hantu! Jadi hantu buruk. Ngeri, dan semua orang akan takut melihat aku, O, semua makhluk mengutuk aku! O, hantu!”

(Merebahkan diri di balai-balai, menelungkup, muka dipadamnya didalam bantal, kaki masih dilantai. Bahunya tersentak-sentak karena sedu-sendanya). (Sementara itu masuk kedalam bilik seorang perempuan muda, yang wajahnya serupa dengan gambar perempuan di dinding, yaitu agak layu, tapi masih kantara sisa-sisa kecantikannya yang dulu. Pakaiannya bagus juga, merah jambu dengan warna yang mencolok mata. Ia memakai selandang yang merah serta menjinjing tas yang biasa dipakai oleh perempuan. Dihampirinya lelaki yang masih menelungkup dan tidak melihatnya itu, lalu meletakkan tangan diatas pundak).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar