KALIMAT
Menulis Kalimat Berdasarkan Pola Dasar Kalimat Bahasa Indonesia
Banyak para ahli bahasa
mengemukakan berbagai pengertian tentang kalimat berikut adalah sejumlah
pengertian yang dikutip dari beberapa ahli bahasa tentang pengertian kalimat
dan pada dasarnya sama yaitu kalimat memiliki kesatuan dalam penyusunan
kata-kata yang membentuk sebuah pola. Dardjowidojo (2008: 254) menyatakan bahwa “Kalimat ialah bagian terkecil dari
suatu ujaran atau teks (wacana) yang
mengungkapkan pikiran yang utuh secara ketatabahasaan”. Muljana
(2003:45) menjelaskan “Kalimat sebagai keseluruhan
pemakaian kata yang berlagu, disusun menurut sistem bahasa yang bersangkutan;
mungkin yang dipakai hanya satu kata, mungkin lebih”.
Kridalaksana (2001:92) juga mengungkapkan “Kalimat sebagai satuan bahasa yang secara relatif berdiri sendiri,
mempunyai pola intonasi final, dan secara aktual maupun potensial terdiri dari
klausa; klausa bebas yang menjadi bagian
kognitif percakapan; satuan proposisi yang merupakan gabungan klausa atau merupakan
satu klausa, yang membentuk satuan bebas; jawaban minimal, seruan, salam, dan
sebagainya”.
Yohanes (2001: 3-4) mengungkapkan bahwa “Kalimat sebagai sebuah satuan, kalimat memiliki dimensi bentuk dan
dimensi isi. Kalimat harus memenuhi kesatuan bentuk sebab kesatuan bentuk
itulah yang menjadikan kesatuan arti kalimat”. Kalimat yang yang strukturnya benar tentu memiliki kesatuan bentuk sekaligus
kesatuan arti. Wujud struktur kalimat adalah rangkaian kata-kata yang disusun
berdasarkan aturan-aturan tata kalimat. Isi suatu kalimat adalah gagasan yang
dibangun oleh rangkaian konsep yang terkandung dalam kata-kata. Jadi, kalimat
(yang baik) selalu memiliki struktur yang jelas. Setiap unsur yang terdapat di
dalamnya harus menempati posisi yang jelas. Setiap unsur yang terdapat di
dalamnya harus menempati posisi yang jelas dalam hubungan satu sama lain.
Kata-kata itu diurutkan menurut aturan tata kalimat. Dardjowidjojo (2008:29) juga menjelaskan bahwa “Kalimat umumnya berwujud rentetan
kata yang disusun sesuai dengan kaidah yang berlaku. Setiap kata termasuk kelas
kata atau kategori kata, dan mempunyai fungsi dalam kalimat. Pengurutan
rentetan kata serta macam kata yang dipakai dalam kalimat menentukan pula macam
kalimat yang dihasilkan”.
Dari beberapa pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa kalimat ialah bagian terkecil ujaran atau teks
(wacana) yang mengungkapkan pikiran yang utuh, merupakan satuan gramatikal yang
dapat berdiri sendiri sebagai satu kesatuan, terdiri atas satu atau lebih
klausa yang ditata menurut sistem bahasa yang bersangkutan, dan mempunyai pola
intonasi final, contoh “Budi sedang
pergi ke
pasar”.
Adapun contoh di atas merupakan
sebuah kalimat, kalimat
tersebut merupakan bagian terkecil ujaran atau teks (wacana) yang mengungkapkan
pikiran yang utuh merupakan satuan gramatikal yang dapat berdiri sendiri,
terdiri atas satu klausa yang ditata
menurut sistem bahasa yang bersangkutan, dan mempunyai pola intonasi, pola-pola kalimat membentuk suatu satuan
gramatikal yang tersusun atas klausa-klausa yang disusun untuk menunjukkan
maksud dari kalimat tersebut kepada pembaca.
Pola kalimat
Istilah fungsi pola kalimat tidak lepas dari subjek, predikat, objek, dan
keterangan menurut
Verhaar (2008:70) “dilihat dari
strukturnya, kalimat terdiri atas unsur-unsur yang disebut fungsi-fungsi pola kalimat. Unsur-unsur tersebut dapat berupa kata atau
kelompok kata. Unsur-unsur tersebut disusun sesuai sistem tertentu sehingga
membentuk kalimat”. “Kalimat
(disebut klausa) terdiri atas unsur-unsur fungsional yang mencakup subjek,
predikat, objek, pelengkap, dan keterangan. Unsur yang selalu ada dalam klausa
ialah predikat. Unsur-unsur yang lain mungkin ada mungkin juga tidak” (Ramlan, 2006:84).
Dalam sebuah kalimat, perlu dibedakan kategori pola kalimat, fungsi pola kalimat, dan
peran semantis unsur-unsur kalimat. Alwi dkk. (2003:320) menyatakan bahwa “tidak ada hubungan satu lawan satu antara bentuk,
kategori, fungsi, dan peran”. Fungsi pola kalimat adalah subjek, predikat, objek, pelengkap,
keterangan. Dalam sebuah kalimat tidak selalu kelima fungsi sintaktis itu
terisi, tetapi paling tidak harus ada konstituen pengisi subjek dan predikat.
Senada dengan pendapat tersebut, Verhaar (2008:72) menyatakan bahwa “fungsi-fungsi
itu tidak memiliki bentuk tertentu, tetapi harus diisi bentuk
tertentu, yaitu suatu kategori. Fungsi-fungsi itu juga tidak memiliki makna tertentu,
tetapi harus diisi makna tertentu yaitu peran”. Fungsi dari pola
tersebut memiliki makna dan ketentuan tersebut, dan peran tersebut dikuasai oleh
kalimat berdasarkan pola.
Fungsi pola kalimat
Pada dasarnya fungsi-fungsi pola
terdiri atas subjek, predikat, objek, pelengkap, dan keterangan. Paparan
selengkapnya adalah sebagai berikut.
1) Subjek
Pada umumnya, subjek berupa nominal, frasa nominal, atau klausa. Subjek juga sering berupa frasa
verbal, misalnya membangun gedung bertingkat mahal sekali. Jika unsur
subjek lebih panjang dibanding dengan unsur predikat sering diletakkan di akhir
kalimat, misalnya manusia yang mampu tinggal dalam kesendirian tidak banyak.
Subjek pada kalimat aktif transitif akan mejadi pelengkap bila kalimat itu
dipasifkan, misalnya anak itu menghabiskan kue saya – kue saya
Subjek adalah bagian yang penting sebagai pangkal pembicaraan dan terjadi
dari kata benda atau sesuatu yang dianggap benda atau dibendakan Hadi, (2003:15). Subjek merupakan unsur atau bagian kalimat yang wajib
hadir dalam kalimat, sedangkan yang lain berfungsi sebagai penjelas. Subjek
kalimat sangat menentukan kejelasan makna sebuah kalimat. Subjek kalimat yang
posisi atau letaknya kurang tepat (jelas) dalam kalimat menyebabkan kekaburan
makna kalimat tersebut.
Putrayasa (2007:64) berpendapat subjek adalah sesuatu yang dianggap
berdiri sendiri, dan yang tentangnya diberitakan sesuatu. Lebih lanjut Putrayasa
memberikan ciri subjek, yaitu (1) dibentuk dengan kata benda atau sesuatu yang
dibendakan dan (2) untuk menentukannya, dapat bertanya dengan kata tanya ”apa”
atau ”siapa” dihadapan predikat.
Fungsi subjek dalam sebuah kalimat biasanya dapat diketahui dengan jalan
mengajukan pertanyaan apa atau siapa yang dibicarakan dalam kalimat tersebut.
Selain ciri khas itu, bagian subjek juga dapat diketahui pada ciri-ciri yang
lainsebagaimana yang diungkapkan
oleh (Yohanes, 2001:6),
“yaitu (1) umumnya berkelas
kata benda (nomina), maksudnya diisi kata benda atau kata lain yang bernilai
benda, (2) diikuti atau dimulai atau dibatasi dengan kata tugas “ini”, “itu”,
“yang”, “adalah”, “ialah”, “yakni”, “merupakan”, “yaitu”, dan lain-lain, (3)
tempat dapat dipindah-pindah, dan (4) pada kalimat aktif transitif, menduduki
pelaku dalam kalimat pasifnya”.
Menurut Sugono (2006:44),
“Subjek yaitu unsur pokok
yang terdapat pada sebuah kalimat di samping predikat. Lebih lanjut Sugono
memberikan ciri subjek, yaitu (1) jawaban ”apa” atau ”siapa”, (2) disertai kata
”itu”, (3) didahului kata ”bahwa”, (4) mempunyai keterangan pewatas ”yang”, (5)
tidak didahului preposisi, dan (6) berupa nominal atau frase nominal”.
Dari beberapa pendapat atas, dapat disimpulkan bahwa subjek merupakan
unsur yang wajib hadir dalam kalimat. Ciri-ciri subjek adalah (1) berupa kata
benda (nomina) atau jenis kata lain yang dibendakan, (2) dapat dicari dengan
menggunakan kata tanya “siapa” atau “apa”, (3) dapat disertai atau dibatasi
dengan kata “ini”, “itu”, “yang”, “adalah”, “ialah”, “yakni”, “merupakan”,
“yaitu”, dan lain-lain, (4) berupa kata atau kelompok kata, dan (5) tidak
didahului preposisi. Letak subjek dan predikat dapat dipertukarkan tempatnya
(tidak selalu berada di depan), yaitu subjek mungkin terletak di depan predikat
atau sebaliknya.
2) Predikat
Seperti halnya dengan subjek, predikat juga sangat
menentukan kejelasan makna sebuah kalimat. Menurut Sugono (2006:54) menjelaskan bahwa “predikat merupakan unsur utama suatu kalimat di
samping subjek”. Predikat merupakan inti kalimat
yang berperan menerangkan subjek. Dikatakan menerangkan subjek karena bagian
kalimat itu harus memberi keterangan pertama dan utama terhadap subjek. Subjek
dan predikat merupakan unsur atau bagian kalimat yang harus ada dalam kalimat.
Unsur predikat dikatakan sebagai unsur inti kalimat dan subjek sebagai unsur
yang wajib hadir dalam kalimat. Kedua unsur tersebut saling terkait karena
kehadirannya menentukan makna kalimat. Ciri predikat adalah (1) jawaban
”mengapa” atau ”bagaimana”, (2) dapat diingkarkan oleh kata ”tidak”, (3) dapat
disertai kata-kata aspek ”telah”, ”sudah”, ”belum”, ”akan”, ”sedang” dan
modalitas ”ingin”, ”hendak”, dan ”mau”, (4) unsur pengisi predikat dapat berupa
kata, atau frase misalnya verba, adjektiva, nomina, preposisi, dan numeralia.
Predikat kalimat biasanya berupa frasa verbal atau
frasa adjektival. Pada kalimat yang berpola SP, predikat dapat berupa frasa
nominal, frasa numeral, atau frasa preposisional, disamping frasa verbal dan
frasa adjektival. Ramlan (2006:86) mengatakan
bahwa “predikat merupakan unsur klausa yang selalu ada dan
merupakan pusat klausa karena memiliki hubungan dengan unsur-unsur lainnya,
yaitu dengan S, O, dan K”. Berdasarkan
strukturya, S dan P dapat dipertukarkan tempatnya, maksudnya S mungkin terletak
di muka P, atau sebaliknya P mungkin terletak di muka S, misalnya sangat
lemah badannya dan tidak berlari-lari ibu. Ciri-ciri predikat, yaitu
(1) dapat diketahui dengan jalan mengajukan pertanyaan: “apa”, “siapa”,
“mengapa”, dan “bagaimana” subjek kalimat tersebut, (2) umumnya terletak
dibelakang subjek, dan (3) berkelas kata kerja (verba).
Menurut Putrayasa (2007:65), predikat adalah “bagian yang memberi keterangan tentang sesuatu yang
berdiri sendiri atau subjek itu. Maksudnya, predikat merupakan bagian kalimat
yang menerangkan subjek”. Lebih lanjut Suparman (dalam
Putrayasa, 2007:65) memberikan penjelasan predikat dengan ciri-ciri atau
penanda predikat tersebut, “yaitu (1) penunjuk
aspek: sudah, sedang, akan, yang selalu di depan predikat, (2) kata
kerja bantu: boleh, harus, dapat, (3) kata penunjuk modal: mungkin,
seharusnya, jangan-jangan, (4) beberapa keterangan lain: tidak, bukan,
justru, memang, yang biasanya terletak di antara S dan P, dan (5) kata
kerja kopula: ialah, adalah, merupakan, menjadi. Kopula mengandung
pengertian merangkaikan”. Biasanya, kata-kata ini digunakan
untuk merangkaikan predikat nominal dengan S-nya, khususnya FB — FB (frase
benda-frase benda).
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan
bahwa predikat merupakan inti kalimat yang memberi penjelasan tentang subjek.
Jadi, predikat adalah unsur inti kalimat yang menerangkan subjek. Selain dengan
subjek, predikat juga memiliki hubungan dengan fungsi yang lain yaitu objek dan
keterangan. Menurut (Yohanes, 2001:7) Ciri-ciri
predikat adalah
(1) dapat dicari dengan menggunakan kata tanya
”mengapa” atau ”bagaimana”, (2) dapat disertai kata aspek: telah, sudah,
belum, akan, sedang; modalitas: ingin, hendak, mau; kata kerja
bantu: boleh, harus, dapat; kata penunjuk modal: mungkin, seharusnya,
jangan-jangan, (3) dapat ditandai beberapa keterangan lain: tidak,
bukan, justru, memang, yang biasanya terletak di antara S dan P, (5) kata
kerja kopula: ialah, adalah, merupakan, menjadi, dan (6) unsur pengisi
predikat dapat berupa kata, atau frase misalnya verba, adjektiva, nomina,
preposisi, dan numeralia.
3) Objek
Alwi dkk. (2003:328) berpendapat “objek
adalah konstituen kalimat yang kehadirannya dituntut oleh predikat yang berupa
verba transitif pada kalimat aktif”, misalnya pembantu
membersihkan ruangan saya. Letak objek selalu setelah predikat. Objek dapat
dikenali dengan memperhatikan jenis predikat yang dilengkapinya dan ciri khas
objek itu sendiri. Objek biasanya berupa nomina atau frasa nominal. Objek dapat
diganti dengan pronomina –nya jika objek tergolong nomina, frasa nominal
tak bernyawa, atau persona ketiga tunggal, dan jika berupa pronomina aku atau
kamu (tunggal), bentuk –ku dan –mu dapat digunakan. Selain
berupa nomina dan frasa nominal objek dapat berupa klausa. Objek pada kalimat
aktif transitif akan mejadi objek jika kalimat itu dipasifkan. Ciri yang
membedakan objek dengan pelengkap adalah pengedepanannya menjadi subjek pada
kalimat pasif dan dapat unsur objek diganti dengan –nya.
Sugono (2006:65) memberikan
ciri objek yaitu “(1) langsung berada di belakang
predikat, (2) dapat menjadi subjek dalam kalimat pasif, dan (3) tidak didahului
preposisi”. Selanjutnya menurut Ramlan
(2006:87) “Objek diperlukan
jika predikat dalam suatu kalimat terdiri atas kata kerja transitif”. Menurut Suwito (2003:61), “ciri-ciri
objek adalah (1) menerima akibat langsung dari suatu aktivitas, (2) selalu
berada setelah predikat, (3) hanya terdapat pada kalimat aktif transitif, (4)
hubungan antara objek dengan predikat sangat erat, (5) tidak dapat
dipindah-pindah, dan (6) dapat berubah menjadi subjek jika kalimatnya diubah
menjadi pasif”.
Objek juga dapat dibedakan menjadi dua yaitu objek
langsung dan objek tak langsung. Objek langsung adalah nomina atau frasa
nominal yang melengkapi verba transitif yang diketahui oleh perbuatan yang
terdapat dalam predikat verba atau yang ditimbulkan sebagai hasil perbuatan
yang terdapat dalam predikat verba. Objek tak langsung adalah nomina atau frasa
nominal yang menyertai verba transitif dan menjadi penerima atau diterangkan
oleh perbuatan yang terdapat dalam predikat. Perbedaan antara keduanya adalah
jika objek langsung dapat menjadi subjek pada kalimat pasif, sedangkan objek
tidak langsung tidak bisa menjadi subjek pada kalimat pasif.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan
bahwa objek merupakan bagian kalimat yang kehadirannya dituntut oleh predikat
yang berupa verba transitif. Hubungan antara objek dan predikat sangatt erat.
Ciri-ciri objek adalah (1) selalu berada di belakang predikat, (2) tidak mudah
dipindah-pindah tetapi dapat menjadi subjek jika kalimatnya diubah menjadi
kalimat pasif, (3) berupa kata benda (nomina atau frasa nomina) atau kata lain
yang dibendakan, (4) tidak didahului preposisi, (5) dapat diganti dengan
pronomina –nya dan jika berupa pronomina aku atau kamu (tunggal),
bentuk –ku dan –mu dapat digunakan.
4) Pelengkap
Sebenarnya pelengkap mempunyai persamaan dengan objek,
yaitu selalu berada dibelakang predikat. Oleh karena itu, pelengkap merupakan
unsur sintaksis yang serig dikacaukan dengan objek oleh sebagian orang. Wujud
pelengkap hampir sama dengan objek. Menurut Suwito (2003:61)
Penanda yang dapat digunakan untuk membedakan
pelengkap degan objek adalah (1) dapat berada pada kalimat aktif transitif dan
berada setelah objek, contohnya paman mencarikan kakak pekerjaan, (2)
dapat berada pada kalimat intransitif, petani di pegunungan bertanam jagung,
(3) dapat didahului preposisi (tentang atau pada) bila predikat berawalan –ber,
contohnya kami berbicara tentang keadaan sekolah dan saya tidak ingin
bergantung pada suami, dan (4) bila berada langsung setelah predikat,
kalimat tidak dapat dijadikan kalimat pasif, contohnya adikku menjadi ketua
kelas.
Yohanes (2001:8) menyatakan “bahwa yang dimaksud dengan pelengkap dalam kalimat
pada dasarnya mirip dengan objek, yakni sama-sama terletak di bagian belakang
predikat dan berwujud kata benda (nomina)”.
Persamaan dan perbedaan antara objek dan pelengkap dapat dilihat pada
ciri-cirinya. Ciri objek yaitu (1) kategori katanya nomina, (2) berada langsung
dibelakang di belakang verba transitif tanpa preposisi, (3) dapat menjadi
subjek dalam kalimat pasif, (4) dapat diganti dengan bentuk –nya. Ciri
pelengkap yaitu (1) kategori katanya dapat nomina, verba, atau adjektiva, (2)
berada di belakang verba intransitif dan didahului preposisi,
(3) tidak dapat menjadi subjek apabila dipasifkan, (4)
tidak dapat diganti dengan bentuk –nya kecuali didahului oleh preposisi
selain di, ke, dari, dan akan.
Pelengkap dalam sebuah kalimat dapat diketahui dengan
mengubah posisi kata (frasa) di belakang predikat menjadi subjek kalimat pasif.
Kalau kata (frasa) di belakang predikat itu tidak dapat digeserkan menjadi
subjek kalimat pasif, maka kata (frasa) tersebut adalah pelengkap.
Dari beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan
bahwa pelengkap merupakan bagian kalimat yang mempunyai persamaan (mirip)
dengan objek, yaitu terletak di belakang predikat. Perbedaan antara objek dan
predikat dapat dilihat dari ciri-cirinya. Ciri-ciri pelengkap adalah (1) berupa
nomina, verba, atau adjektiva, (2) umumnya berada di belakang predikat yang
berupa verba intransitif, (3) dapat didahului preposisi ”tentang” atau ”pada”,
(4) tidak dapat menjadi subjek akibat pemasifan kalimat, (5) tidak dapat
diganti dengan bentuk –nya kecuali jika didahului oleh preposisi selain di,
ke, dari, dan akan.
5) Keterangan
Menurut Alwi dkk., (2003:330) “Keterangan merupakan fungsi sintaksis yang paling
beragam dan paling mudah berpindah letaknya
Keterangan dapat berada di akhir, di awal, bahkan di tengah, kalimat”. Pada dasarnya keterangan
sama dengan objek, keterangan tidak harus ada dalam sebuah kalimat. Fungsi
keterangan hanya muncul bila diperlukan. Tetapi pada dasarnya keterangan adalah
unsur atau bagian kalimat yang menyatakan “penjelasan” lebih lanjut terhadap
predikat atau objek. Keterangan merupakan unsur bukan inti kalimat yang menerangkan
predikat atau objek “Tempat keterangan dalam kalimat
biasanya bebas, dan cakupan semantis keterangan lebih luas, yaitu mewatasi
unsur kalimat atau seluruh kalimat (Yohanes, 2001:9). Letak keterangan bebas, artinya dapat terletak di
depan subjek dan predikat, diantara subjek dan predikat, dan di belakang subjek
dan predikat, atau di belakang predikat dan objek. Fungsi keterangan berbeda
dengan unsur kalimat yang lainnya. Unsur keterangan posisinya bersifat
fleksibel, dapat ditempatkan di awal, di tengah, ataupun di akhir kalimat.
Keterangan merupakan bagian kalimat yang menerangkan
S-P-O/Pel, S-P, S-P-O, S-P-Pel, P-O, P-Pel, dan P. Letak keterangan dapat
dengan mudah dipindah kecuali diantara P-O dan P-Pel. Keterangan dalam sebuah
kalimat mempunyai banyak makna. Menurut Putrayasa (2007:68), “makna keterangan ditentukan oleh perpaduan makna
unsur-unsurnya. Berdasarkan maknanya, terdapat bermacam-macam keterangan
berikut penandanya, yaitu sebagai berikut.
a.
Keterangan tempat
ditandai oleh: di (di kamar), ke (ke kantor), dari (dari
pasar), dalam (dalam lemari), dan pada (pada permukaan).
b.
Keterangan waktu
ditandai oleh: pada (pada hari ini), dalam (dalam minggu ini), se-
(sepulang dari kampus), sebelum (sebelum pukul 12), sesudah (sesudah
pukul 10), selama (selama dua minggu), sepanjang (sepanjang
tahun).
c.
Keterangan alat
ditandai oleh: dengan (dengan gunting).
d.
Keterangan tujuan
ditandai oleh: agar/supaya (agar/supaya kamu pintar), untuk (untuk
kemerdekaan), bagi (bagi masa depanmu), demi (demi kekasihnya).
e.
Keterangan cara
ditandai oleh: dengan (dengan diam-diam), secara (secara
hati-hati), dengan cara (dengan cara damai), dengan jalan (dengan
jalan berunding).
f.
Keterangan
penyerta ditandai oleh: dengan (dengan adiknya), bersama (bersama
orang tuanya), beserta (beserta saudaranya).
g.
Keterangan
perbandingan ditandai oleh: seperti (seperti angina), bagaikan (bagaikan
seorang dewi), laksana (laksana bintang di langit).
h.
Keterangan sebab
akibat ditandai oleh: karena (karena perempuan itu), sebab (sebab
kecerobohannya), sehingga, sampai, akibatnya.
i.
Keterangan
kesalingan misalnya: saling (mencintai) satu sama lain.
j.
Keterangan
kuantitas; sedikit, banyak, cukup.
a.
Keterangan
alasan; berdasar hal itu, sehubungan dengan hal itu.
b.
Keterangan
modalitas; mustahil, barangkali, moga-moga.
c.
Keterangan
perlawanan; meskipun, walaupun.
d.
Keterangan
perwatasan; selain, kecuali.
e.
Keterangan
syarat; jika, kalau.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa keterangan
merupakan unsur bukan inti kalimat yang menerangkan subjek, predikat, objek,
atau pelengkap. Letak keterangan mudah dipindah-pindah kecuali diantara
predikat-objek dan predikat-pelengkap.
Kategori pola
kalimat
Kalimat
merupakan rangkaian kata-kata yang disusun berdasarkan kaidah tata kalimat dan menduduki
jabatan tertentu. Jabatan atau fungsi kalimat itu disebut unsur-unsur kalimat.
Para ahli bahasa menyebut unsur-unsur kalimat tersebut dengan fungsi sintaktis
kalimat. Sebuah kalimat yang diujarkan atau ditulis mengikuti aturan-aturan
tertentu yang disebut pola. kalimat merupakan manifestasi pikiran pemakai
bahasa yang dituangkan dalam bentuk tertentu. Bentuk kalimat tersebut disebut
pola atau acuan kalimat.
Menurut
Mukuan (2005:29),
“Pola
kalimat merupakan rangkaian kata-kata yang menduduki fungsi tertentu yang
disusun berdasarkan kaidah tata kalimat. Urutan letak unsur kalimat merupakan salah satu
dasar pola kalimat”.
Urutan letak kata-kata (frasa) yang merupakan unsur-unsur kalimat dapat diubah
tanpa menimbulkan perubahan makna dasarnya. Jadi, urutan letak kata-kata yang
merupakan unsur-unsur kalimat memegang peranan penting karena tersusun menurut
aturan atau kaidah yang berlaku. Ridhani (1995:24) berpendapat pola kalimat
adalah kerangka kalimat atau kerangka gramatika kalimat suatu bahasa yang
berfungsi sebagai dasar perwujudan kalimat oleh penuturnya. Kalimat tertata
berdasarkan kaidah yang berlaku, fungsi atau kedudukan dalam kalimat.
Beraneka macam
kalimat yang dibentuk dapat dikembalikan ke salah satu pola dasar kalimat. Agar
dapat dengan mudah mengidentifikasi pola dasar kalimat yang dibentuk tersebut,
perlu ditetapkan terlebih dahulu pola dasar kalimat yang menjadi dasar
perluasan. “Jika
kalimat yang menjadi dasar perluasan tersebut disebut kalimat dasar, maka
kalimat itulah yang terlebih dahulu ditetapkan polanya” (Rusmadji, 2003:67).
Sependapat dengan Rusmadji, Keraf (2000:190) menyatakan “bahwa sebuah kalimat dipulangkan pada pola-pola dasar
yang dianggap menjadi dasar pembentukan kalimat yang luas, kalimat yang
mengalami penambahan unsur”.
Berdasarkan
uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perubahan urutan letak unsur kalimat
dapat mengubah makna kalimat sebelumnya, bahkan dapat mengakibatkan suatu
susunan yang tidak bermakna. Kalimat yang memiliki susunan bertingkat-tingkat
terbentuk dari gabungan beberapa pola dasar. Pola kalimat dapat diketahui
dengan mengetahui terlebih dahulu pola dasar kalimat yang membentuk kalimat
tersebut.
Dengan
demikian, untuk memahami kalimat yang kompleks kita perlu menetapkan terlebih
dahulu pola dasar yang menjadi landasan sebuah kalimat tersebut. Jadi, pola
kalimat adalah urutan letak frasa yang menduduki unsur fungsi tertentu dengan
mengikuti kaidah tatakalimat.
Macam-macam
kalimat
Kalimat dapat diklasifikasikan berdasarkan dengan jumlah dan jenis klausa
yang terdapat di dalamnya, Berdasarkan jumlah dan jenis kalusa yang terdapat di
dalamnya, kalimat yaitu kalimat minor dan kalimat mayor.
1 Kalimat
minor
Kalimat minor adalah adalah kalimat yang terdiri
atas satu klausa terikat atau sama sekali tidak mengandung struktur klausa.
Kalimat minor dibedakan atas:
a. Kalimat minor berstruktur
kalimat minor berstruktur adalah kalimat yang muncul
sebagai lanjutan, pelengkap atau penyempurna kalimat utuh atau klausa atau
klausa lain yang terdahulu dalam wacana. Contoh “Terserah saja”, (apa yang kau
bawa itu? (“makanan”).
b. Kalimat
minor tidak berstruktur
kalimat minor minor tidak
terstruktur adalah kalimat yang muncul sebagai akibat pengisian wacana yang
ditentukan oleh situasi, contoh apabila terjadi kebakaran maka orang berteriak
“kebakaran”, apabila ada tukang sate lewat maka dipanggil “Sate”.
2 Kalimat
mayor
Kalimat mayor adalah kalimat yang terdiri atas
sekurang-kurangnya satu kalusa bebas, berdasarkan statusnya, dalam kalimat
mayor terdapat unsur pembentuk yang inti saja, berdasrkan jumlah klausa yang
terdapat di dalamnya, kalimat mayor dapat dibedakan atas (a) kalimat tunggal,
(b) kalimat bersusun, dan (c) kalimat majemuk (Tarigan, 1993:5).
a. Kalimat
Tunggal
Kalimat
tunggal adalah kalimat yang terdiri atas satu klausa bebas, tanpa klausa terikat contoh :
(1) AndiMandi.
(2) Budi makan.
b. Kalimat
bersusun
Kalimat
bersusun adalah kalimat yang terdiri atas satu klausa bebas, dan
sekurang-kurangnya satu klausa terikat contoh :
(1) Dia pergi sebelum matahari terbit.
(2) Kami akan bertanding kalau wasitnya bukan dia.
Kalimat
(1) dan (2) merupakan contoh kalimat bersusun,
dia pergi dan kami akan bertanding
merupakan klausa bebas, sedangkan
sebelum matahari terbit dan
kalau wasitnya bukan dia merupakan klausa terikat. Kridalaksana, 2001).
c. Kalimat
Majemuk
Kalimat
mejemuk adalah kalimat yang terdiri atas beberapa klausa bebas. Istilah kalimat
majemuk dalam bagian ini dapat dipadankan dengan kalimat majemuk setara
(bandingkan Alwi, 1998; Kridalaksana,
2001), yang dalam strukturnya ditandai oleh konjungtor yang menyatakan hubungan makna aditif,ekuatif, dan ekseptif.
(1) Saya menyuruhnya pergi, tetapi dia tidak bergeming.
(2) Anwar tidak akan bekerja, kecuali gaji bulan lalu telah dibayar.
Pola Kalimat Berdasarkan
Jumlah Klausa
Ada
beberapa macam kalimat yang dibedakan berdasarkan jumlah klausanya, jumlah
klausa tersebut, yaitu kalimat sederhana dan kalimat luas
1 Kalimat sederhana
Menurut (Suwito, 2003:59) “kalimat
sederhana adalah kalimat yang hanya dibangun oleh satu ide. Kesederhanaan suatu
kalimat bukan didasarkan pada jumlah kata yang terdapat pada kalimat itu atau
panjang pendeknya kalimat tersebut”. Sedangkan
menurut Ramlan (2006:47), “kalimat
sederhana merupakan kalimat yang terdiri dari satu klausa”.
Menurut Hadi (2003:329), “Kalimat sederhana
dibentuk dari sebuah klausa yang unsur-unsurnya berupa kata atau frasa”. Menurut strukturnya (adanya subjek, predikat, objek,
dan keterangan) sebuah kalimat sederhana dalam bahasa Indonesia memiliki pola :
(1) Subjek +
predikat
Contoh :
Ayahku seorang dokter
(2) Subjek +
predikat + objek
Contoh : Ayah membaca koran pagi
(3) Subjek + predikat
+ objek + keterangan
Contoh : Ayah membaca koran di taman
(4) Subjek +
predikat + objek + objek
Contoh : Ayah membukakan saya pintu.
“Sebagian para ahli bahasa menyebut kalimat sederhana
dengan kalimat tunggal. Meskipun demikian, perbedaan sebutan tersebut tidak
mengubah pengertian atau maksud keduanya”. Cook (dalam
Tarigan, 1996:5) dan Rusmadji (1993:73) menyebut kalimat sederhana
dengan kalimat tunggal. Menurutnya, “Kalimat sederhana
adalah kalimat yang terdiri atas satu klausa bebas tanpa klausa terikat”. Kalimat sederhana terdiri atas satu kesatuan inti,
baik dengan maupun tanpa bagian bukan inti. Keraf (2000:152) menyatakan bahwa kalimat sederhana merupakan “Kalimat yang hanya terdiri dari dua unsur inti dan
dapat diperluas dengan satu atau lebih unsur tambahan”. Yohanes (2001:14)
mendefinisikan “kalimat sederhana sebagai kalimat
yang dibentuk oleh sebuah klausa”. Hal senada juga
diungkapkan oleh Alwi dkk. (2003:338). Menurutnya, kalimat sederhana adalah “kalimat
yang terdiri atas satu klausa disebut
kalimat tunggal atau kalimat sederhana”. Hal itu berarti
bahwa konstituen untuk tiap unsur kalimat, seperti subjek dan predikat,
hanyalah satu atau merupakan satu kesatuan. Dalam kalimat sederhana terdapat
semua unsur wajib yang diperlukan. Di samping itu, tidak mustahil ada pula
unsur mana suka seperti keterangan tempat, waktu, dan alat.
Dengan demikian kalimat mana suka tidak selalu dalam wujud yang
pendek, tetapi juga dapat panjang seperti terlihat pada contoh berikut.
a. Dia akan pergi.
(Subjek + objek keterangan)
b. Kami mahasiswa Universitas Negeri Malang.
(Subjek + objek keterangan)
c. Guru bahasa Indonesia akan dikirim ke luar negeri.
(Subjek + objek keterangan)
d. Pekerjaan dia mengawasi semua siswa di sini.
(keterangan + Subjek
+ objek
keterangan)
Dari beberapa pendapat di atas, dapat di tarik disimpulkan bahwa kalimat sederhana adalah kalimat
yang terdiri atas satu klausa, yang terbagi atas satu subjek dan satu predikat.
Kalimat sederhana terdiri atas dua unsur inti yang dapat diperluas dengan
menambah unsur yang lain, asal tidak mengubah arti semula dan unsur utamanya.
2 Kalimat luas
Menurut (Suwito, 2003:60) “Kalimat
luas adalah kalimat yang dibangun lebih dari satu ide”.
Ide itu dapat disusun secara sejajar, dapat juga disusun secara bertingkat.
Menurut Ramlan (2006:47) “kalimat
luas terdiri atas dua klausa atau lebih. Kalimat luas dibagi tiga yaitu (1)
kalimat luas setara, (2) kalimat luas bertingkat, dan (3) kalimat luas campuran”.
Para ahli bahasa yang lain menyebut kalimat luas dengan
kalimat majemuk. Rusmadji (1993:73) yang menyebut kalimat luas dengan kalimat
majemuk, memberikan definisi “kalimat luas ialah
kalimat yang terdiri atas dua klausa atau lebih. Hal itu berarti bahwa kalimat
luas terdiri atas lebih dari satu bagian inti, baik dengan maupun tanpa bagian
bukan inti”. Dilihat dari pembentukannya, kalimat luas dapat
dikatakan berasal dari dua kalimat sederhana atau lebih yang dihubung-hubungkan
menjadi satu.
Contoh:
a. Tabrakan itu terjadi di jalan Jombang dan dua orang
meninggal.
(objek + subjek + keterangan
subjek)
b. Saya akan hadir kalau saya diundang.
(subjek
+ keterangan objek)
c. Monumen Nasional itu dibuat ketika kamu masih
kecil.
(subjek
+ prediket + keterangan prediket)
d. Saya ingin mengantarnya tetapi ia keberatan.
(subjek
+ prediket + keterangan prediket)
Keraf (2000:167)
memberikan batasan kalimat luas dengan melihat perluasan kalimat sederhana.
Batasan yang diberikan yaitu (1) kalimat luas adalah
kalimat sederhana yang bagian-bagiannya diperluas sedemikian rupa, sehingga
perluasan itu membentuk satu atau lebih pola kalimat baru di samping pola yang
sudah ada, contohnya anak itu, yang kau kira perempuan, bermain bola,
dan (2) kalimat luas adalah penggabungan dari dua kalimat sederhana atau lebih
sehingga kalimat yang baru ini mengandung dua pola kalimat atau lebih,
contohnya ayah menulis surat, sambil adik duduk di pangkuannya.
Yohanes (2001:17) mempunyai
pendapat yang berbeda dalam penyebutan kalimat luas. “Ia
menyebut kalimat luas dengan kalimat klausa majemuk. Hal ini dikarenakan yang
majemuk bukanlah kalimatnya, melainkan klausanya. Kalimat luas yaitu kalimat
yang dibentuk oleh dua buah klausa atau lebih”.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan
bahwa kalimat luas terdiri atas dua atau lebih klausa yang membentuk dua atau
lebih pola kalimat. Kalimat luas berdasarkan sifatnya dibedakan menjadi tiga,
yaitu (1) kalimat luas setara, (2) kalimat luas bertingkat, dan (3) kalimat
luas campuran.
1). Kalimat luas setara
Chaer (2000:340) menjelaskan bahwa kalimat luas setara
dibentuk dari dua buah klausa atau lebih yang digabungkan menjadi sebuah
kalimat, baik dengan bantuan kata penghubung ataupun tidak. Menurut Ramlan (2006:49), dalam kalimat luas setara klausa yang satu
tidak merupakan bagian klausa yang lain; masing-masing klausanya berdiri
sendiri atau sama-sama sebagai klausa inti.
Keraf (2000:168) yang
menyebut “kalimat luas setara dengan kalimat majemuk sederajat,
menyatakan bahwa kalimat luas sederajat (koordinatif) memiliki kedudukan
pola-pola kalimat yang sama tinggi, tidak ada pola-pola kalimat yang menduduki
suatu fungsi dari pola yang lain”. Menurut Arifin (2002:5), “kalimat luas
setara memperlihatkan ketidaksamaan derajat diantara struktur-struktur kalimat
sederhana yang membentuknya karena ada struktur kalimat yang mendukung salah
satu fungsi saja dari struktur kalimat yang lain”.
Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Ramlan (2006:5) Hubungan antara pola kalimat
pembentuk kalimat luas setara dapat dibagi menjadi empat macam, yaitu :
(1) hubungan setara penjumlahan, yang ditandai dengan
kesenyapan atau partikel, seperti dan, serta, pula, lagi, dan selain diantara
kalimat sederhana yang membentuk kalimat luas setara tersebut, (2) hubungan
setara perurutan, ditandai dengan kehadiran partikel kemudian, lalu, dan
sesudah itu, (3) hubungan setara pemilihan, ditandai dengan kehadiran
partikel berupa atau, dan (4) hubungan setara pertentangan ditandai
dengan kehadiran partikel tetapi, melainkan, dan hanya
Contoh:
a. Kami belajar di perpustakaan,
mereka bermain di halaman, dan guru-guru mengadakan rapat di kantor.
(subjek + prediket+objek), (subjek +
prediket+objek) + (subjek + prediket+objek +pelengkap)
b. Mula-mula mereka membuka
hutan itu, lalu mereka menyiapkan pondok tempat tinggal, kemudian barulah
mereka menyiapkan lahan pertanian.
(keterangan + subjek +
prediket+objek), (keterangan subjek + prediket+objek) + (subjek +
prediket+objek +pelengkap)
c. Kita harus segera
berangkat atau kita tunggu dulu kedatangan beliau.
(subjek + prediket+objek), (subjek +
prediket+objek pelengkap)
d. Saya ingin melanjutkan belajar ke perguruan
tinggi tetapi orang tua saya tidak mampu membiayainya.
(subjek + prediket+objek+pelengkap)
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan
bahwa kalimat luas setara yaitu kalimat yang klausa satunya tidak merupakan
bagian klausa yang lain, masing-masing klausanya berdiri sendiri atau sama-sama
sebagai klausa inti. Di dalam kalimat luas setara tidak terdapat pola kalimat
yang menduduki suatu fungsi tertentu lebih tinggi dari pola yang lain.
2). Kalimat luas bertingkat
Ramlan (2006:51) menyatakan
bahwa dalam “kalimat luas yang tidak setara
klausa yang satu merupakan bagian dari klausa lainnya”.
Klausa yang merupakan bagian dari klausa lainnya itu disebut klausa bawahan,
sedangkan klausa lainnya disebut klausa atasan. Jadi, kalimat luas yang tidak
setara terdiri dari klausa atasan dan bawahan, sedangkan kalimat luas yang
setara terdiri dari klausa atasan semua.
Menurut Chaer (2000:342), “kalimat
luas bertingkat dibentuk dari dua buah klausa, yang digabungkan menjadi satu.
Penggabungan tersebut biasanya dengan bantuan kata penghubung sebab, kalau,
meskipun, dan sebagainya”. Kedudukan
klausa-klausa di dalam kalimat luas bertingkat tidak sama derajatnya. Yang satu
mempunyai kedudukan lebih tinggi dari yang lain; atau yang satu mengikat atau
terikat pada yang lain.
Contoh:
a. Harga jual barang-barang
ini terpaksa dinaikkan sebab biaya produksi dan ongkos kerja juga naik.
(subjek + keterangan + prediket+keterangan pelengkap)
b. Ia berangkat juga ke
sekolah meskipun hujan turun lebat sekali.
(subjek
+ prediket+objek + keterangan)
c. Saya akan datang pada
pernikahanmu nanti kalau skripsiku sudah selesai.
(subjek + prediket+objek + keterangan waktu)
Klausa yang kedudukannya lebih tinggi mempunyai
kedudukan yang bebas, sehingga tanpa kehadiran klausa yang lain tetap dapat
berdiri sendiri sebagai sebuah kalimat. “Begitu juga
sebaliknya, klausa yang kedudukannya lebih rendah mempunyai kedudukan yang tidak
bebas, sehingga tidak dapat berdiri sendiri sebagai sebuah kalimat. Klausa
bebas dalam kalimat luas bertingkat disebut induk kalimat, sedangkan klausa
tidak bebas disebut anak kalimat. Klausa yang
disebut anak kalimat ini, biasanya didahului dengan kata penghubung” (Chaer, 2000:343).
Kemudian Arifin (2002:6) menerangkan bahwa hubungan antara unsur penambah dengan kalimat asalnya
dapat dilaksanakan secara implisit maupun eksplisit. Kalimat asal yang
diperluas disebut induk kalimat, sedangkan kalimat yang merupakan unsur
tambahan atau merupakan perluasan unsur kalimat asal itu disebut anak kalimat. “Anak kalimat dalam kalimat luas bertingkat dapat
menduduki (1) fungsi subjek, (2) fungsi keterangan subjek, (3) fungsi predikat,
(4) fungsi objek, (5) fungsi keterangan objek, (6) fungsi keterangan lainnya,
seperti keterangan sebab, akibat, waktu, dan tujuan”.
Contoh:
a. Orang yang duduk di depan itu gendut sekali.
(subjek + prediket+objek pelengkap)
b. Mereka mengejar orang yang mencopet uangku.
(subjek + prediket+objek pelengkap)
c. Ia tidak mengetahui bahwa kami telah menikah.
(subjek + prediket+objek pelengkap)
d. Aku baru tahu anak itu tampak gelisah juga.
(subjek + prediket+objek pelengkap)
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan
bahwa kalimat luas bertingkat ialah kalimat yang dua klausanya atau lebih
mempunyai kedudukan yang bertingkat atau tidak sederajat (bersifat
subordinatif). Klausa yang satu merupakan bagian dari klausa lainnya. Klausa
yang merupakan bagian dari klausa lainnya disebut klausa bawahan, sedangkan
klausa lainnya disebut klausa atasan. Jadi, kalimat luas bertingkat terdiri
dari klausa bawahan dan klausa atasan.
3). Kalimat luas campuran
Chaer (2000:331) menyebutkan “Kalimat
luas terdiri dari dua kalimat luas rapatan dan kalimat luas sisipan. Dua buah
kalimat atau lebih dapat digabungkan menjadi sebuah kalimat luas rapatan dengan
cara merapatkan bagian atau unsur kalimat yang sama”.
Bagian atau unsur yang sama tersebut mungkin terdapat pada subjek, predikat, objek,
keterangan, atau pada dua atau tiga bagian itu. Kalimat luas bersisipan adalah
kalimat luas yang dibentuk dari dua buah klausa atau lebih. Salah satu dari
klausa itu menjadi klausa yang disisipi atau klausa dasar dan klausa lain
menjadi klausa yang disisipkan. Penyisipan ini dilakukan dengan bantuan kata
penghubung yang, bahwa, dan tempat. Dalam kalimat bersisipan,
klausa yang disisipkan berfungsi sebagai keterangan atau penjelas dari bagian
klausa dasar yang disisipinya. Bagian klausa dasar yang biasa diberi keterangan
dengan klausa sisipan ini adalah unsur subjek dan objek.
Keraf (2000:170) menyebut “kalimat luas campuran dengan kalimat majemuk campuran.
Menurutnya, kalimat luas campuran dapat terdiri atas sebuah pola atasan dan
sekurang-kurangnya dua pola bawahan, atau sebaliknya”.
Hal itu berarti kalimat luas campuran terdiri atas satu induk kalimat dan
sekurang-kurangnya dua anak kalimat, atau sekurang-kurangnya dua induk kalimat
dan satu atau lebih anak kalimat. Sejalan dengan pendapat Keraf, Kusno
(1985:126) menyatakan bahwa “Kalimat luas
campuran merupakan gabungan dari kalimat luas setara dan kalimat luas
bertingkat. Kalimat luas campuran sekurang-kurangnya memiliki tiga pola
kalimat, dua diantaranya sejajar dan pola kalimat lain bertingkat”.
Menurut Arifin (2002:10),
kalimat luas campuran adalah “gabungan dari
kalimat luas setara dan kalimat luas bertingkat. Jadi, disamping hubungan
kesetaraan terdapat pula hubungan antara klausa atasan dan klausa bawahan”. Hubungan kesetaraan ini dapat terjadi di bagian
klausa bawahan dan dapat juga di bagian klausa atasan. Ada dua pola kalimat luas campuran, yaitu (1)
kalimat luas campuran yang terdiri dari satu pola atasan dengan dua pola
bawahan yang setara dan (2) kalimat luas campuran dengan dua pola atasan yang
setara dan satu pola bawahan.
Contoh:
a. Saya menulis surat
dan adik menonton televisi ketika ayah pulang.
(subjek + prediket+keterangan objek +
keterangan waktu)
b. Ani tidak jadi datang ke pesta itu karena tidak
saja kondisi badannya kurang sehat, tetapi juga karena tidak diizinkan
bapaknya.
(subjek
+ prediket+keterangan objek + keterangan waktu)
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan
bahwa kalimat luas campuran yaitu gabungan dari kalimat luas setara dan kalimat
luas bertingkat. Kalimat luas campuran sekurang-kurangnya memiliki tiga pola
kalimat, dua diantaranya sejajar dan pola kalimat lain bertingkat.